BREAKING NEWS

OPINI - Teknologi dalam Genggaman: Alat Bantu atau Penjara Baru?

 

Foto: Rezeki Putri Maha

Oleh: Rezeki Putri Maha

*) Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Sistem Informasi, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh

 

Hari ini, hampir semua orang hidup berdampingan dengan teknologi. Bangun tidur langsung cek HP, pesan makanan tinggal klik, belajar dan kerja bisa dari rumah, dan komunikasi semudah menggeser layar. Rasanya, teknologi benar-benar mempermudah hidup kita.

Tapi di balik semua kemudahan itu, ada pertanyaan penting yang perlu kita renungkan “apakah teknologi benar-benar menjadi alat bantu, atau justru diam-diam jadi penjara yang membatasi hidup kita?”.

Teknologi memang punya banyak sisi positif. Kita bisa belajar dari mana saja, terhubung dengan siapa pun di belahan dunia lain, bahkan mencari penghasilan lewat media sosial atau platform digital. Teknologi juga terbukti membantu di bidang kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Singkatnya, hidup jadi lebih efisien.

Tapi kalau kita lihat lebih dalam, efek sampingnya juga mulai terasa. Banyak orang jadi ketergantungan pada gadget. Lupa waktu, kurang interaksi langsung, bahkan kualitas tidur dan kesehatan mental pun bisa terganggu. Belum lagi fenomena fomo (Fear of Missing Out), kecanduan scroll media sosial, atau terjebak dalam dunia digital yang penuh pencitraan.

Teknologi yang seharusnya kita kendalikan, perlahan-lahan justru mulai mengendalikan kita. Kita jadi gelisah kalau tidak pegang HP, cemas kalau notifikasi sepi, dan merasa tidak produktif tanpa akses internet. Anehnya, alat yang di ciptakan untuk bantu aktivitas, kini malah mengambil alih perhatian dan waktu kita.

Jadi, teknologi itu sebenarnya alat bantu atau penjara baru? Jawabannya tergantung pada cara kita menggunakannya. Kalau kita bisa bijak dan sadar dalam menggunakan teknologi menjadikan ia sebagai alat bantu, bukan pelarian maka teknologi tetap akan jadi teman baik. Tapi kalau kita lengah, bukan tidak mungkin kita terjebak dalam penjara digital yang kita buat sendiri.

Namun, perlu ditegaskan, teknologi tidak salah. Yang salah adalah ketika kita tidak menyadari batas penggunaannya. Teknologi, seperti pisau, bisa menjadi alat bantu atau alat yang menyakiti, semua tergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Maka dari itu, kesadaran digital menjadi penting. Kita perlu belajar mengatur waktu penggunaan perangkat, menyaring informasi, dan memisahkan mana kebutuhan dan mana kecanduan.

Solusi sederhana bisa dimulai dari hal kecil, menyisihkan waktu tanpa layar setiap hari, menonaktifkan notifikasi yang tidak penting, atau menjadwalkan waktu khusus untuk interaksi sosial secara nyata. Dengan langkah-langkah kecil itu, kita sedang membebaskan diri dari jebakan tak kasat mata yang diciptakan oleh dunia digital.

Kuncinya adalah kontrol. Kita yang pegang kendali, bukan sebaliknya. Mari gunakan teknologi secukupnya, seperlunya, dan sewajarnya. Karena pada akhirnya, hidup nyata tetap lebih penting daripada notifikasi yang terus berbunyi.

Teknologi memang memberikan banyak manfaat, tetapi tanpa kesadaran, ia bisa berubah menjadi penjara baru yang memenjarakan waktu, perhatian, bahkan kebebasan kita. Kita perlu merebut kembali kendali. Jadikan teknologi sebagai pelayan, bukan tuan. Karena pada akhirnya, hidup yang seimbang tidak ditentukan oleh seberapa canggih perangkat yang kita punya, tetapi seberapa bijak kita menggunakannya. [Sekian]