BREAKING NEWS

OPINI - Teknologi Menyusup ke Segala Aspek Kehidupan: Berkah atau Bencana?

 

Foto: Syahira Ratu Fadilla

Oleh: Syahira Ratu Fadilla

*) Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Sistem Informasi, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh

 

Di era modern ini, teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Ia menyusup perlahan tapi pasti ke hampir setiap aspek aktivitas kita dari cara kita berkomunikasi, bekerja, belajar, hingga menjalani rutinitas sehari-hari seperti berbelanja atau mencari hiburan. 

Kemajuan yang dulunya hanya menjadi bahan cerita dalam fiksi ilmiah kini menjelma menjadi kenyataan yang kita hadapi setiap hari. Namun pertanyaannya, apakah kehadiran teknologi ini benar-benar membawa berkah? Ataukah ia diam-diam menyimpan potensi bencana?.

Tidak dapat dipungkiri, teknologi telah mendatangkan banyak manfaat nyata. Transaksi keuangan kini bisa dilakukan dalam hitungan detik tanpa perlu mengantre di bank. Rapat dan kolaborasi lintas benua bisa digelar dari ruang tamu masing-masing peserta. 

Dalam dunia pendidikan, teknologi menjadi penyambung nyawa saat pandemi memaksa sekolah dan kampus tutup. Kita bisa belajar, bekerja, bahkan beribadah dari balik layar. Semua terasa lebih mudah, lebih cepat, dan lebih efisien.

Namun, setiap kemudahan selalu datang dengan konsekuensi. Hubungan antar manusia yang dulu hangat dan penuh sentuhan kini digantikan oleh pesan teks singkat yang dingin dan datar. Kita semakin jarang menyapa tetangga karena terlalu sibuk membalas notifikasi. 

Di ruang keluarga, keheningan sering kali dipecah bukan oleh percakapan, melainkan oleh suara video dari gawai masing-masing. Anak-anak lebih mengenal karakter dalam gim daring ketimbang teman sebaya di lingkungan sekitar.

Masalah privasi juga menjadi isu besar. Jejak digital kita tersebar di mana-mana—apa yang kita cari, beli, sukai, dan bahkan pikirkan, bisa dianalisis oleh algoritma. Data pribadi berubah menjadi komoditas yang diperdagangkan tanpa kita sadari. 

Di sisi lain, kejahatan digital seperti peretasan, pencurian identitas, dan penipuan siber makin marak. Dunia maya yang dulu dianggap sebagai ruang alternatif kini menjadi medan baru yang tak kalah berbahaya.

Lebih dari itu, kita sedang menyaksikan lahirnya generasi yang sangat bergantung pada teknologi. Ketergantungan ini telah menimbulkan gejala baru dalam kehidupan modern, salah satunya adalah nomophobia—rasa takut atau cemas berlebihan saat tidak memegang ponsel. 

Sebuah penelitian bahkan menunjukkan bahwa sebagian orang lebih memilih kehilangan dompet daripada kehilangan ponsel mereka. Ini bukan lagi sekadar kemajuan, tetapi gejala sosial yang perlu diwaspadai.

Ketergantungan ini juga berdampak pada kesehatan mental. Overdosis informasi, tekanan dari media sosial, dan ekspektasi hidup yang dipoles oleh filter digital menciptakan kecemasan dan perasaan tidak pernah cukup.

Teknologi yang seharusnya membantu, perlahan-lahan mengambil alih kendali dan membentuk ulang cara kita berpikir, merasa, dan berinteraksi.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Jawabannya bukan menolak teknologi, tetapi mengelolanya dengan bijak. Kita perlu menjadi pengguna yang sadar, bukan sekadar konsumen yang pasif. Bijak memilah informasi, membatasi waktu layar, menjaga ruang privat, dan menyisihkan waktu untuk hadir secara nyata dalam kehidupan sosial menjadi langkah-langkah kecil yang penting. 

Orang tua harus menjadi contoh, bukan hanya memberi larangan. Sekolah dan institusi pendidikan perlu mengajarkan literasi digital, bukan sekadar cara menggunakan perangkat.

Teknologi hanyalah alat. Ia bisa menjadi berkah jika digunakan dengan kesadaran, tetapi juga bisa menjadi bencana jika dibiarkan mengambil alih kendali. Dalam dunia yang semakin digital ini, manusia harus tetap menjadi pusat. 

Sebab, pada akhirnya, nilai kehidupan tidak diukur dari seberapa canggih alat yang kita miliki, melainkan dari seberapa utuh kita menjalani hidup sebagai manusia. [Sekian]