BREAKING NEWS

AI dalam Pendidikan dan Kehidupan Sehari-hari

 https://sevima.com/wp-content/uploads/2022/01/artificial-intelligence-dikti.jpg

 Oleh: Mursalin, S.Pd., M.Pd

Dosen Universitas Malikussaleh 


Perkembangan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern. Dari fitur rekomendasi di media sosial hingga asisten virtual di ponsel pintar, AI bekerja tanpa henti di balik layar untuk memudahkan aktivitas harian. 

 

Namun, salah satu bidang yang kini mengalami transformasi besar akibat kehadiran AI adalah dunia pendidikan. AI bukan lagi sekadar alat bantu teknologi, melainkan menjadi mitra baru dalam proses belajar mengajar, baik di ruang kelas formal maupun dalam pembelajaran mandiri.

 

Dalam dunia pendidikan, AI hadir dalam berbagai bentuk. Platform pembelajaran seperti Khan Academy, Coursera, dan bahkan aplikasi lokal kini memanfaatkan algoritma AI untuk menyesuaikan materi dengan kemampuan pengguna. 

 

Siswa tidak lagi harus belajar dengan pendekatan "satu untuk semua". AI memungkinkan pembelajaran yang dipersonalisasi: materi yang diberikan akan disesuaikan dengan kecepatan belajar, minat, dan kesulitan yang dialami masing-masing pelajar. Hal ini sangat membantu siswa yang selama ini merasa tertinggal dalam sistem pendidikan konvensional.

 

Lebih dari itu, AI juga membantu guru dalam berbagai aspek administratif yang selama ini menyita banyak waktu, seperti menilai pekerjaan rumah atau ujian berbasis pilihan ganda. Dengan otomatisasi ini, guru dapat lebih fokus pada aspek pedagogis dan interaksi emosional yang tetap tak tergantikan oleh mesin. 

 

Bahkan, AI dapat memberikan analisis tentang kemajuan siswa, mengidentifikasi kelemahan, dan menyarankan pendekatan pembelajaran yang lebih efektif. Ini menjadikan guru bukan sekadar pengajar, tetapi fasilitator yang memanfaatkan data untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

 

Namun, penggunaan AI dalam pendidikan juga membawa sejumlah tantangan. Salah satunya adalah risiko ketergantungan berlebihan pada teknologi. Jika tidak dikontrol dengan baik, siswa bisa menjadi pasif dan terlalu bergantung pada jawaban instan yang diberikan oleh AI, seperti melalui chatbot atau aplikasi penjawab soal. 

 

Kreativitas, pemikiran kritis, dan kemampuan menyelesaikan masalah secara mandiri bisa tereduksi. Oleh karena itu, penting bagi pendidik dan orang tua untuk membimbing penggunaan AI secara bijak, agar teknologi ini benar-benar menjadi alat bantu, bukan pengganti proses belajar itu sendiri.

 

Di luar pendidikan formal, AI juga telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Di rumah, kita menggunakan AI dalam perangkat rumah pintar, seperti lampu otomatis, AC yang menyesuaikan suhu berdasarkan kebiasaan penghuni, hingga robot vacuum yang membersihkan lantai secara mandiri. 

 

Dalam transportasi, aplikasi seperti Google Maps dan Gojek memanfaatkan AI untuk memberikan rute tercepat atau memperkirakan waktu tempuh secara akurat. AI juga hadir dalam layanan kesehatan, membantu mendiagnosis penyakit lebih cepat melalui analisis citra medis, atau mengingatkan pasien untuk minum obat tepat waktu melalui aplikasi ponsel.

 

Meski demikian, tidak semua orang memahami bahwa semua kemudahan ini adalah hasil kerja AI. Masih banyak masyarakat yang menggunakan teknologi tanpa memahami bagaimana cara kerjanya atau potensi risikonya. Ini menyebabkan kesenjangan literasi digital yang cukup signifikan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itu, edukasi tentang AI perlu ditanamkan sejak dini, bukan hanya di jenjang pendidikan tinggi, tetapi mulai dari sekolah dasar hingga menengah. 

 

Tujuannya bukan agar semua anak menjadi ilmuwan komputer, melainkan agar mereka memiliki kesadaran kritis tentang teknologi yang mereka gunakan setiap hari.

 

Selain aspek teknis, penting pula membicarakan isu etika dalam penggunaan AI. Siapa yang bertanggung jawab jika AI membuat keputusan yang salah? Apakah adil jika perusahaan besar memanfaatkan data pengguna untuk melatih algoritma tanpa transparansi? 

 

Bagaimana jika AI menggantikan banyak pekerjaan manusia? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab bersama oleh pemerintah, pendidik, industri, dan masyarakat. Tanpa regulasi dan kesadaran etis, AI bisa menjadi pedang bermata dua yang menambah kesenjangan sosial dan memperkuat dominasi pihak tertentu.

 

AI adalah alat yang sangat kuat. Seperti pisau, ia bisa digunakan untuk memasak makanan bergizi atau untuk melukai. Pilihan ada di tangan kita sebagai pengguna, pendidik, dan warga negara. Di bidang pendidikan dan kehidupan sehari-hari, AI dapat membuka peluang luar biasa, asalkan kita mampu memanfaatkannya secara cerdas, kritis, dan manusiawi. 

 

Kunci utamanya terletak pada literasi dan etika: memahami cara kerja AI, menyadari dampaknya, dan menggunakannya untuk tujuan yang memperkuat nilai-nilai kemanusiaan.