BREAKING NEWS

OPINI - Saat AI Mulai Menggantikan Manusia, Apa yang Harus Kita Siapkan?

 

Foto: Wahyu Raja Marisi


Oleh: Wahyu Raja Marisi

*) Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Sistem Informasi, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh

 

Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) semakin hari semakin mendekat dalam kehidupan kita. Ia bukan lagi teknologi yang hanya hadir dalam film fiksi ilmiah atau percakapan akademis. Kini, AI telah masuk ke dapur bisnis, ruang kelas, bahkan kantor pelayanan publik.

Kita mulai terbiasa dengan chatbot yang menggantikan customer service manusia, kamera pengawas dengan pengenalan wajah, atau sistem yang dapat menganalisis ribuan data dalam hitungan detik. Inovasi ini menawarkan efisiensi luar biasa, tetapi di sisi lain menimbulkan satu kekhawatiran besar: Apakah manusia perlahan akan tergantikan?

Pertanyaan ini bukanlah ketakutan yang tidak berdasar. Laporan dari McKinsey Global Institute pada 2017 memprediksi bahwa hingga tahun 2030, sebanyak 800 juta pekerjaan di seluruh dunia berpotensi tergantikan oleh otomatisasi dan AI.

Sektor yang paling terpengaruh termasuk administrasi, manufaktur, logistik, hingga layanan pelanggan. Bahkan dalam dunia jurnalisme, AI telah mulai digunakan untuk menulis artikel berita berbasis data. Teknologi ini bekerja cepat, murah, dan dalam banyak hal lebih konsisten.

Di Indonesia sendiri, sejumlah perusahaan telah mengimplementasikan AI dalam sistem kerja mereka. Layanan perbankan misalnya, telah mulai menggunakan sistem otomatis untuk mengenali kelayakan kredit nasabah, tanpa harus melalui analisa pegawai secara manual.

Pemerintah juga mulai mengeksplorasi potensi AI dalam mempermudah pelayanan publik. Tren ini tentu menunjukkan bahwa AI bukan lagi opsi, melainkan keniscayaan dalam dunia kerja masa depan.

Namun, apakah ini berarti manusia tidak lagi dibutuhkan? Jawabannya: tidak. Justru di sinilah letak tantangan dan peluangnya. Meski AI dapat menggantikan beberapa pekerjaan, ia tidak bisa menggantikan seluruh aspek yang dimiliki manusia, terutama kreativitas, empati, etika, dan kemampuan untuk memecahkan masalah kompleks dengan konteks budaya dan sosial.

Untuk menghadapi era ini, yang harus kita siapkan bukanlah penolakan, melainkan penyesuaian. Ada tiga hal utama yang harus menjadi fokus:

Pertama, pendidikan yang adaptif. Sistem pendidikan di Indonesia perlu mulai merombak kurikulum agar lebih menekankan pada keterampilan abad ke-21, seperti literasi digital, berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, dan pemecahan masalah. Anak-anak kita harus dipersiapkan bukan hanya untuk menjadi pengguna teknologi, tapi pencipta dan pengembangnya.

Kedua, program reskilling dan upskilling. Bagi pekerja yang sudah aktif di dunia kerja, mereka harus diberi akses untuk belajar keterampilan baru. Pemerintah dan perusahaan perlu bekerja sama untuk menyediakan pelatihan yang relevan, mudah diakses, dan berbasis kebutuhan nyata di industri. Jika sebelumnya seseorang hanya bisa bekerja sebagai operator mesin, maka pelatihan bisa diarahkan pada pengelolaan data, pemrograman dasar, atau pengawasan sistem AI.

Ketiga, kebijakan yang berpihak pada manusia. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan publik perlu membuat regulasi yang memastikan pemanfaatan AI tidak merugikan tenaga kerja secara masif. Misalnya, dengan mendorong implementasi teknologi secara bertahap, memberi insentif pada perusahaan yang melakukan pelatihan ulang bagi pekerjanya, dan memastikan perlindungan sosial bagi mereka yang terdampak.

AI seharusnya tidak diposisikan sebagai musuh manusia. Ia adalah alat, dan seperti alat lainnya, manfaat atau bahayanya bergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Kita punya pilihan untuk menjadikan AI sebagai partner kerja yang memperkuat produktivitas, bukan sebagai pengganti manusia yang mematikan peluang.

Sudah saatnya kita berhenti memandang AI dengan rasa takut dan mulai bersiap dengan bekal yang tepat. Masa depan tidak akan menunggu mereka yang ragu dan terlambat. Saat AI mulai menggantikan manusia, mari kita pastikan bahwa manusia tidak tinggal diam, tetapi melangkah lebih maju dengan pengetahuan, keterampilan, dan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan. [Sekian]