OPINI - Dampak AI bagi Pendidikan: Peluang atau Bahaya Tersembunyi?
![]() |
Foto: Putri Hasanah Siregar |
Oleh: Putri Hasanah Siregar
*) Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Sistem Informasi, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Kecerdasan buatan (AI) perlahan tapi pasti mulai mengubah wajah pendidikan kita. Dari sistem penilaian otomatis, chatbot yang mampu menjawab pertanyaan siswa, hingga aplikasi pembelajaran yang menyesuaikan materi dengan kemampuan individu—semuanya memberi kesan bahwa masa depan belajar akan semakin mudah dan efisien. Banyak yang menyambut kehadiran teknologi ini sebagai revolusi pendidikan yang menjanjikan. Namun, di balik kecanggihan itu, tersimpan pula kekhawatiran yang tidak bisa diabaikan.
Pendidikan bukan semata soal efisiensi. Ia adalah ruang pertumbuhan karakter, interaksi sosial, dan pembentukan nilai-nilai kemanusiaan. Ketika peran guru perlahan digantikan oleh mesin, muncul pertanyaan: ke mana perginya sentuhan manusia dalam proses belajar?
AI mungkin mampu menjelaskan rumus matematika dengan cepat, tetapi tidak akan pernah bisa menanamkan empati, etika, atau rasa hormat dalam diri siswa. Kita sedang menghadapi tantangan besar bagaimana memastikan teknologi tetap menjadi alat bantu, bukan pengganti sepenuhnya.
Lebih jauh, kita juga harus jujur bahwa tidak semua anak memiliki akses yang sama terhadap teknologi. Ketika sekolah-sekolah di kota besar mulai mengadopsi AI, ribuan siswa di pelosok negeri bahkan belum tersambung internet.
Jurang ketimpangan ini bisa semakin menganga jika AI diterapkan tanpa memikirkan aspek keadilan dan pemerataan. Pendidikan seharusnya menjadi hak semua orang, bukan hanya mereka yang mampu membeli perangkat pintar.
Belum lagi soal keamanan data. Sistem AI membutuhkan informasi pribadi siswa untuk dapat bekerja secara efektif. Namun, sejauh mana data itu dikelola secara aman dan etis? Tanpa regulasi yang kuat, kita membuka celah besar bagi penyalahgunaan data, baik oleh perusahaan teknologi maupun pihak lain yang tidak bertanggung jawab.
Meski begitu, menolak AI sepenuhnya bukanlah jawaban. Justru di sinilah letak tantangannya: bagaimana memanfaatkan AI secara bijak, tanpa kehilangan nilai-nilai dasar dalam pendidikan? Guru tetap harus menjadi pusat dari proses belajar, dibantu—bukan digantikan—oleh teknologi.
Pemerintah, sekolah, dan masyarakat perlu duduk bersama untuk merumuskan kebijakan yang melindungi siswa, mendukung guru, dan memastikan bahwa teknologi ini digunakan demi kebaikan bersama.
AI dalam pendidikan adalah peluang besar, tetapi juga bisa menjadi bahaya tersembunyi jika tidak diatur dengan baik. Kita tidak sedang memilih antara tradisi dan inovasi, melainkan belajar menyeimbangkan keduanya. Karena pada akhirnya, masa depan pendidikan bukan ditentukan oleh teknologi, tetapi oleh bagaimana kita menggunakannya untuk membentuk manusia seutuhnya. [Sekian]