OPINI - Oversharing di Era Digital: Ketika Dokumentasi Pribadi Menjadi Konsumsi Publik
![]() |
Foto: Putri Kenangan Br Berutu |
Oleh: Putri Kenangan Br Berutu
*) Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Sistem Informasi, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Pada zaman digital saat ini, kehadiran media sosial telah menjadi elemen penting yang melekat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat. Banyak orang yang menggunakan platform seperti TikTok, Instagram, dan Facebook untuk berbagi momen atau sekadar meng-update kehidupan pribadi.
Pada awalnya, tujuan utamanya adalah untuk bersenang-senang dan berbagi pengalaman, namun belakangan muncul pertanyaan, apakah terlalu sering berbagi informasi pribadi itu tepat?
Sebelum hadirnya media sosial, mungkin banyak orang yang tidak pernah terpikirkan untuk menghabiskan waktu dengan berfoto atau menceritakan hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Namun kini, hampir setiap orang melakukannya.
Banyak orang yang sering membagikan foto di Instagram atau video di TikTok, biasanya untuk menunjukkan aktivitas yang sedang dilakukan atau momen-momen tertentu yang dirasa menarik. Tanpa disadari, hal ini sering kali terjebak dalam perilaku oversharing, yaitu berbagi informasi pribadi lebih banyak dari yang seharusnya.
Banyak orang mungkin tidak menyadari bahwa setiap kali memposting sesuatu, sebenarnya mereka sedang membuka bagian tertentu dari kehidupan mereka kepada publik. Apa yang dulunya hanya untuk teman dekat, kini dapat diakses oleh ribuan bahkan jutaan orang.
Hal tersebut tentu berpotensi menimbulkan konsekuensi yang tidak diharapkan. Banyak orang yang kemudian merasa menyesal setelah membagikan sesuatu yang cukup pribadi, seperti perasaan atau pengalaman tertentu, yang kemudian menjadi konsumsi publik dan tak bisa dikendalikan lagi penyebarannya.
Risiko yang Mengintai
Oversharing bukan hanya soal berbagi foto atau status, tetapi juga tentang memberikan informasi pribadi yang terlalu banyak. Hal ini dapat membuat seseorang menjadi lebih rentan, baik secara emosional maupun fisik. Bayangkan saja, jika terus-menerus memperbarui informasi tentang kegiatan sehari-hari, ada kemungkinan orang lain mengetahui rutinitas, lokasi, bahkan hal-hal kecil yang sebenarnya tidak perlu diketahui oleh banyak orang.
Lebih jauh lagi, informasi yang dibagikan secara berlebihan bisa saja dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Misalnya, kasus penipuan online yang menggunakan data pribadi korban dari media sosial, atau tindakan kejahatan seperti pencurian yang dilakukan setelah pelaku mengetahui bahwa pemilik rumah sedang bepergian karena melihat unggahan liburan di Instagram. Ini semua menunjukkan bahwa oversharing tidak hanya soal kenyamanan, tetapi juga menyangkut keamanan.
Tekanan Sosial dan Citra Diri Palsu
Selain risiko keamanan, fenomena oversharing juga erat kaitannya dengan tekanan sosial dan pencitraan diri di media sosial. Banyak pengguna merasa terdorong untuk terus membagikan momen bahagia atau pencapaian, meskipun itu tidak selalu mencerminkan kondisi nyata dalam kehidupan mereka. Akibatnya, media sosial menjadi ajang penciptaan citra diri palsu, dan pengguna lain yang melihatnya bisa merasa tidak cukup baik atau kurang berhasil dalam hidup mereka.
Inilah yang disebut sebagai highlight reel effect—di mana orang hanya menampilkan sisi terbaik dari hidup mereka, menciptakan standar yang tidak realistis. Padahal, kehidupan nyata tak selalu indah dan penuh kebahagiaan seperti yang tampak di layar.
Akibat dari hal ini bisa sangat serius, termasuk gangguan kesehatan mental seperti rasa rendah diri, cemas, bahkan depresi karena membandingkan diri secara terus-menerus dengan kehidupan orang lain yang tampak sempurna di media sosial.
Menjaga Batas, Menjaga Diri
Hidup tidak perlu selalu terlihat sempurna atau terbuka sepenuhnya. Oleh karena itu, penting untuk lebih bijak dalam berbagi informasi. Sebelum memposting sesuatu, sebaiknya berpikir dua kali dan bertanya pada diri sendiri, "Apakah ini benar-benar perlu dibagikan?" Jika dirasa tidak perlu, sebaiknya informasi tersebut tidak usah dipublikasikan.
Kita juga bisa memanfaatkan fitur-fitur privasi yang tersedia di media sosial, seperti menyaring siapa saja yang bisa melihat unggahan, membatasi akses ke informasi pribadi, atau bahkan memilih untuk tidak mempublikasikan hal-hal tertentu sama sekali. Tidak ada aturan yang mengharuskan setiap momen harus diunggah. Ada kekuatan dalam menjaga sebagian hal untuk diri sendiri.
Selain itu, kita juga perlu meningkatkan literasi digital, terutama bagi generasi muda, agar mereka dapat memahami risiko dan dampak dari oversharing. Edukasi sejak dini mengenai etika digital dan pentingnya privasi akan membantu menciptakan pengguna media sosial yang lebih sadar dan bertanggung jawab.
Pada akhirnya, meskipun media sosial memberikan kemudahan bagi banyak orang untuk berbagi momen, harus diingat bahwa tidak semua hal perlu dipublikasikan.
Setiap individu memiliki hak untuk memilih apa yang ingin disimpan untuk diri sendiri dan apa yang ingin dibagikan kepada publik. Privasi itu penting, dan menjaga batasan dalam berbagi bukan berarti menutup diri, tetapi justru untuk menjaga agar diri tetap aman dan nyaman.
Di era keterbukaan informasi ini, menjadi pengguna media sosial yang sadar dan bijak bukan hanya pilihan, tetapi kebutuhan. Jangan sampai kita kehilangan kendali atas kehidupan pribadi kita sendiri karena keinginan untuk terus terlihat eksis di dunia maya. Kadang, hal terbaik dalam hidup justru yang hanya kita simpan untuk diri sendiri. [Sekian]