OPINI - Banjir Informasi, Banjir Hoaks: Ancaman Hoaks Di Zaman Serba Cepat
![]() |
Foto: Anggi Dwi Mentari Matondang |
Oleh: Anggi Dwi Mentari Matondang
*) Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Sistem Informasi, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Di era digital ini, informasi mengalir dari berbagai arah. Baru bangun tidur, buka media sosial sudah disambut kabar terbaru. Siang hari, notifikasi grup WhatsApp keluarga menyampaikan pesan yang katanya penting. Malam pun tak jauh berbeda saat bersantai sambil scroll TikTok atau X, tiba-tiba muncul informasi dari warganet yang belum tentu benar.
Setiap harinya, kita dibombardir oleh berita, opini, gambar, video, hingga data dari berbagai platform—mulai dari media sosial, aplikasi pesan, hingga situs berita online. Tapi sayangnya, tidak semua yang kita lihat itu benar adanya. Di sinilah persoalan serius muncul: maraknya penyebaran informasi palsu atau yang lebih kita kenal dengan hoaks.
Hoaks atau informasi palsu bukanlah hal yang baru, tapi dizaman sekarang ini, penyebarannya lebih cepat dan masif. Hanya dengan satu klik, berita bohong bisa sampai ke ribuan orang. Fenomena ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga dapat menimbulkan dampak serius, mulai dari kericuhan sosial, penyesatan publik, hingga gangguan keamanan.
Di media sosial, informasi tidak harus benar untuk menjadi viral—yang penting adalah menarik perhatian. Dan sayangnya, hoaks biasanya dirancang agar sensasional, emosional, dan mengundang interaksi. Inilah yang menyebabkan hoaks jauh lebih cepat menyebar daripada informasi yang faktual dan membosankan.
Kita tentu belum lupa bagaimana saat pandemi COVID-19, berbagai informasi palsu menyebar dengan bebas. Ada yang menyebarkan resep "obat mujarab", klaim konspirasi tentang vaksin, hingga informasi menyesatkan tentang asal-usul virus.
Banyak masyarakat menjadi korban hoaks, percaya pada informasi yang tidak berdasar, bahkan menolak vaksinasi karena termakan isu. Ini bukan hanya membahayakan individu, tetapi juga mengancam upaya bersama dalam menjaga kesehatan publik. Hoaks dalam bidang kesehatan dapat menimbulkan konsekuensi yang nyata, bahkan bisa sampai menghilangkan nyawa.
Namun hoaks tidak hanya berbahaya di bidang kesehatan. Dalam konteks sosial dan politik, hoaks bisa menjadi alat adu domba dan propaganda. Banyak pihak yang dengan sengaja menyebarkan informasi palsu untuk membentuk opini publik atau menjatuhkan lawan politik.
Dalam tahun-tahun politik seperti pemilu, hoaks menjadi senjata yang sering digunakan untuk memanipulasi persepsi masyarakat. Bahkan meskipun sebuah hoaks sudah diklarifikasi, kerusakan yang ditimbulkannya tidak mudah diperbaiki karena persepsi masyarakat terlanjur terbentuk.
Di sisi lain, salah satu faktor yang membuat hoaks cepat beredar adalah minimnya kemampuan literasi digital di kalangan masyarakat. Masih banyak orang yang belum terbiasa melakukan pengecekan fakta, kurang kritis terhadap sumber informasi, dan sering kali membagikan suatu konten hanya karena merasa itu penting untuk disebarluaskan. Sering kali, niat baik untuk memberi informasi malah justru memperparah penyebaran kabar bohong.
Selain itu, algoritma media sosial juga memiliki peran dalam memperkuat penyebaran hoaks. Sistem algoritma sengaja dibuat untuk menyoroti konten yang mampu menarik minat pengguna dan mendorong terjadinya interaksi.
Ironisnya, informasi palsu kerap disajikan dengan gaya yang memancing emosi dan sensasi, membuatnya lebih mudah menarik perhatian, dibagikan, dan tersebar luas di berbagai platform. Ini menyebabkan konten palsu sering kali lebih viral dibandingkan konten yang faktual.
Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan kerjasama antara berbagai pihak yang terlibat. Pemerintah, selaku pihak yang berwenang, perlu mempertegas aturan hukum yang mengatur peredaran informasi yang tidak benar. Penegakan hukum terhadap penyebar hoaks perlu dilakukan secara adil dan tegas. Selain itu, platform digital juga tidak boleh lepas tangan.
Mereka memiliki tanggung jawab moral untuk menyaring dan menghapus konten berbahaya yang beredar di dalam sistem mereka. Pengembangan teknologi deteksi otomatis berbasis AI harus terus dilakukan agar hoaks dapat dihentikan sebelum menyebar lebih luas.
Namun, langkah paling krusial sebenarnya berasal dari individu dan komunitas itu sendiri. Edukasi literasi digital harus ditanamkan sejak dini. Anak-anak dan remaja sebagai pengguna utama internet perlu diajarkan untuk berpikir kritis, memverifikasi informasi, dan tidak mudah terprovokasi oleh konten yang mereka lihat di dunia maya. Sekolah, keluarga, media, dan masyarakat sipil memiliki tanggung jawab bersama untuk membangun ketahanan informasi.
Kesadaran kolektif juga perlu dibangun. Masyarakat perlu disadarkan bahwa menyebarkan hoaks adalah bentuk tanggung jawab hukum dan moral. Tidak ada alasan untuk membagikan sesuatu yang belum jelas kebenarannya. Mengklik tombol “share” bukan hanya tindakan sederhana, tetapi bisa berdampak besar pada kehidupan orang lain.
Kesimpulannya, hidup di era digital adalah tantangan tersendiri. Kita dihadapkan pada paradoks informasi: semakin banyak informasi tersedia, semakin sulit membedakan mana yang benar dan mana yang palsu.
Hoaks adalah bagian dari tantangan itu ancaman nyata yang bisa mengganggu tatanan sosial jika tidak ditangani dengan serius. Karena itu, kita perlu menjadi konsumen informasi yang bijak, mampu berpikir kritis, dan bertindak dengan tanggung jawab. Karena di balik setiap informasi yang kita terima dan sebarkan, ada konsekuensi yang nyata bagi masyarakat. [Sekian]